7/23/12

Sekolah Pinggiran : O Ea E O.......

    Masih segar ingatan kita dengan hasil Ujian Nasional sekolah dasar 2012 pada bulan Juni lalu. Betapa tidak, dibeberapa daerah, sekolah-sekolah yang sebelumnya tidak masuk perhitungan dalam pencapaian prestasi akademik membuat sebuah gebrakan yang sontak membuat dunia pendidikan seperti kesambar petir. Apalagi bagi sekolah-sekolah unggulan seperti RSBI atau sekolah mewah yang ada di kota-kota besar.  Sekolah-sekolah pinggiran ini berhasil membuat sekolah kelas premiere keok. Padahal selama ini kita tahu sekolah pinggiran memang serba kekurangan, mulai dari fasilitas hingga tenaga pendidik. Lalu faktor apa yang membuat sekolah-sekolah pinggiran atau sekolah “singkong” ini mampu menyalip sekolah-sekolah “keju”? Dari pemerintahnya, tenaga pendidik, lingkungan, atau dari siswanya sendiri kah?
    Sebelumnya kita intip dulu beberapa fakta dunia pendidikan Indonesia terlebih dahulu. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh suatu lembaga survey yang bergerak dibidang konsulatsi keuangan, menunjukkan bahwa tingkat biaya pendidikan di Indonesia mengalami inflasi sebesar 15-20% untuk pendidikan peguruan tinggi. Meskipun demikian, bukan PT saja yang mengalami kenaikan biaya pendidikan, jenjang sekolah SD, SMP, dan SMA pun mengalami hal yang sama. Jika kita lihat secara sederhana saja, lumrah jika kenaikan sebesar itu ada pada sekolah swasta guna menutupi biaya operasional dan fasilitas yang diberikan karena mereka mengupayakan sendiri semua itu tanpa campur tangan pemerintah. Tapi perlu perhatian lebih jika yang mengalami kenaikan biaya pendidikan tersebut adalah sekolah negeri. Bagaimana tidak, sejatinya sekolah negeri adalah fasilitas publik yang disediakan pemerintah guna memenuhi kewajiban bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Dengan demikian sebagai insentif lanjutan maka pemerintah memberikan subsidi pendidikan bagi sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Tapi kecenderungan subsidi pendidikan tersebut jatuh ke tangan sekolah negeri. Sebagai realitanya, untuk sekolah dasar dan menengah bahkan di beberapa daerah hingga jenjang menengah atas bebas dari biaya pendidikan, atau lebih dikenal dengan pendidkan wajib 9 tahun. Kesimpulannya sekolah negeri mulai dari bangunan hingga bangku, meja, kursi, biaya tenaga pendidik, dan biaya operasional sekolah ditanggung negara dan daerah. Jika sekolah negeri sudah mendapat insentif yang besar dalam pelakasanaanya, lalu untuk apa inflasi biaya pendidikan sebesar 15-20% tersebut? Bukankah masih ada dana BOS sebagai landasan utama untuk meng-cover biaya operasional sekolah. Penulis sendiri menduga bahwa kenaikan biaya sebesar 15-20% tersebut merupakan inisiatif dari sekolah untuk pengembangan internal sekolah. Seperti kegiatan siswa, fasilitas tambahan yang tidak didukung penuh oleh daerah ataupun negara. Faktanya dari hasil yang penulis temui dilapangan, bawasannya dana dari BOS tidak cukup untuk memenuhi fasilitas tambahan dari sekolah-sekolah tersebut, seperti tenaga kebersihan, guru honorer, dan staf-staf lain yang dibutuhkan sekolah guna melaksanakan kegiatan administrasi dan belajar mengajar sekolah. Jadi, terpaksa sekolah mau tidak mau harus menetapkan biaya tambahan yang dibebankan pada peserta didiknya.  Jadi semakin besar dan semakin banyak fasilitas sekolah yang diberikan maka semakin banyak tenaga tambahan yang dibutuhkan, maka pagu anggaran BOS tidak akan mampu menutupinya dan kenaikan biaya pendidikan yang dibebankan kepada siswa menjadi solusinya.
    Dari uraian singkat kondisi pendidikan Indonesia diatas, secara tidak sadar telah menciptakan suatu hukum rimba bagi peserta didiknya. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan kantong, terpaksa harus tersingkir dengan tanda kutip meskipun mereka memiliki super brain. Maka dari seleksi alam pertama akan menciptakan suatu ekosistem pendidikan baru. Peserta didik yang tidak mampu mencicipi dunia pendidikan kelas keju mau tidak mau harus memilih sekolah singkong atau sekolah pinggiran. Secara tidak sadar pula sebenarnya peserta didik disekolah pinggiran juga memiliki kemampuan yang setara dengan sekolah kota, yang membedakan hanyalah dari segi finansial saja. Tapi, bukankah fasilitas yang “wah” akan berperan juga terhadap kondisi pelajar? Dalam hal ini seharusnya sekolah kota lebih unggul karena bahan ajar dan media pembelajarannya lebih lengkap. Jadi dalam hal ini bukan perkara fasilitas yang menjadikan sekolah singkong unggul dari sekolah keju.
    Beberapa kasus lain yang pernah penulis temui adalah fokus pembangunan pemerintah terhadap sekolah-sekolah dasar. Ada sebuah sekolah dasar di Surabaya, pertama kali sekolah ini merupakan sekolah yang bisa dibilang sekolah buangan bagi sekolah-sekolah yang lebih maju. Dalam suatu kompetisi, tak disangka siswa dari sekolah ini mampu mengungguli sekolah yang lebih maju dan berhasil mendapat prestasi bahkan menjadi sekolah dengan nilai terbaik di salah satu kecamatan di Surabaya. Seketika itu pula, sekolah tersebut mendapat insentif pembangunan dari pemerintah. Melihat fakta yang demikian, pemerintah terkesan hanya fokus pada hasil akhir dan tidak mau tahu prosesnya. Lebih sederhananya pemerintah hanya menunggu di hilirnya saja, tidak mau langsung bergerak ke hulu, setelah hilir mulai menampakkan hasil barulah mencari sumbernya ke hulu. Lagi-lagi prestasi siswa tidak berkaitan dengan kinerja pemerintahnya.

    “Sepenggal kisah sedih yang pernah penulis dengar. Tepatnya saat penerimaan siswa baru tahun ajaran 2012-2013 ini. Sebuah sekolah memberikan pertanyaan yang tidak masuk akal untuk dunia pendidikan. Salah seorang panitia mengatakan, “Bapaknya kerja apa?” secara lugu anak tersebut menjawab “Tukang parkir” seketika itu pula anak tersebut tidak lolos seleksi masuk sekolah dasar, dan kini ucap syukur kepada Tuhan YME dia diterima disekolah pinggiran. Asal tahu saja, anak tukang parkir tersebut memiliki kemampuan yang bisa dibilang anak pintar. Tapi apalah daya, uang yang memegang kuasa”.
Didikan guru yang cerdas

    Guru kencing berdiri, murid kencing berlali. Itulah pribahasa yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap bertahan. Guru adalah panutan, guru adalah sumber ilmu, dan guru adalah sumber inspirasi bagi murid-muridnya.  Tak memandang dimana mereka mengabdikan ilmunya, disitulah mereka berperan sebagai pemahat masa depan anak didiknya. Mungkin kita pernah berpikir, kualitas tenaga pendidik bisa diketahui tempat dimana mereka mengajar. Jika sekolah-sekolah tersebut berprestasi dan menjadi sekolah unggulan maka pikiran masyarakat langsung tertuju pada tenaga pebdidik yang berkualitas. Tapi tak selamanya tenaga pendidik mampu menguasai jiwa anak didiknya. Sepintar-pintarnya seorang tenaga pendidik selagi mereka tidak mampu menjalin komunikasi dan melakukan pendekatan emosional kepada anak didiknya maka apa yang disampaikan seorang guru hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Begitu juga dengan anak didiknya, dikatakan bahwa tidak ada anak yang bodoh tapi mereka hanya belum tahu saja. Disni peran tenaga pendidik sangatlah menentukan dan berpikir seperti apa metode yang tepat bagi anak didiknya.
    Menyambung kepada persoalan sebelumnya tentang kinerja sekolah-sekolah pinggiran. Tak ada tenaga pendidik yang bodoh, semua guru itu “SMART”, menurut penulis yang membedakan hanyalah eksistensi dan peruntungan mereka saja yang membedakan dimana tempat mereka mengajar. Begitu juga dengan siswa-siswanya, tak ada murid yang bodoh mereka hanya belum tahu saja. Sebagai dampak dari hukum rimba, sekolah pinggiran berportensi terisi oleh siwa-siswa super brain yang sebelumnya tak terdeteksi di sekolah-sekolah elit negeri. Dengan kemampuan tenaga pendidik yang mampu memberikan pendekatan emosional sehingga timbul rasa saling percaya dan metode pembelajaran yang diberikan maka mampu menciptakan hasil anak didik yang berkualitas. Dan, hasil akhirnya bisa dilihat salah satunya dari hasil ujian tersebut. Keuntungan lain yang bisa didapat dari seleksi rimba masuk sekolaha adalah terciptanya pasar persaingan sempurna di dunia pendidikan. Jiak satu sekolah meningkatkan biaya pendidikanya maka sekolah lain tidak akan terpengaruh dan sebagai imbasnya terangkatlah derajat sekolah pinggiran sehingga mampu menjadi salah satu yang terbaik. Strategi pembangunan ataukah apa yang menjadi inti dari hasil akhir seleksi ini adalah penyetaraan kualitas antara sekolah kota dan pinggiran sehingga penulis mengharapkan kedepannya tidak ada pembedaan baik secara finansial maupun pengakuan kualitasnya.
    Sekali lagi penulis simpulkan bawasannya bukan uang yang menentukan seorang anak itu akan berada pada puncak posisi prestasi. Bukan dimana tempat dia menuntut ilmu yang menentukan seberapa tinggi nilainya. Bukan pula guru yang genius yang membuat dia berhasil dalam akademiknya. Tapi yang menentukan itu semua adalah dirinya sendiri dan juga seorang guru yang rendah hati, mampu mengerti kondisi anak didiknya, mampu memberikan solusi belajar yang benar, mampu menjadi problem solver, dan yang terpenting adalah walalupun bukan jenius tapi cerdas itu yang lebih penting. Seperti sebuah lagu dari Iwan Fals dan Franky sahilatua “Orang Pinggiran”. Beliau berdua melantunkan lagu bawasannya “Orang pinggiran Bukan pemalas, Orang pinggiran Pekerja keras, Orang pinggiran Tidak mengeluh, Orang pinggiran Terus melenguh. Dan orang pinggiran bukan sekedar berkata omong kosong O Ea E O, tapi mereka mampu”. Hal ini berbanding lurus dengan apa yang terjadi di sekolah pinggiran sehingga mereka mampu memperbaiki citra minim prestasi dan membuat sekolah-sekolah elit untuk lebih menginstrospeksi diri. Sekolah pinggiran tempatnya guru dan murid yang bekerja keras dan tidak mengeluh meskipun semua serba terbatas. Akhirnya penulis katakan bawasannya menjadi guru yang cerdas yang mampu membawa anak didiknya ke gerbang kesuksesan adalah lebih baik daripada menjadi guru yang genius namun tidak cerdas. Dan gudang dari guru-guru cerdas salah satunya adalah “Sekolah Pinggiran”.





Kebersamaan yang tercipta berkat bimbingan tenaga pendidik yang handal.

No comments:

Post a Comment

Disqus for Economic Watcher