7/19/12

“Like This“,Bukti Nyata Penyimpangan Objektivitas Penilaian Karya?




“bro.. Bantu vote+like link ini yh. Aku lg ikut Short Story Competition,pmenangnya dr like trbanyak. Thanx.”

“Batuin ngvote dong... terima kasih...!!!”

“teman2 ngelike gambarnya di LINK nya ya? makasi bgt tolong like gambarq ini ya plis?? RANGDA NO ONNANO HITO, plis ini lomba”


       Pernahkah suatu ketika Anda sedang asyik memandang dunia biru facebook lalu di kejutkan dengan notification baru muncul? Atau mungkin juga dikejutkan dengan chatbox yang terbuka? Dan pertanyaan yang terakhir, pernahkah chatbox dan notification Anda memunculkan pesan seperti yang ada di atas? Inilah pengalaman pribadi yang saya pikir sudah sering kali terjadi. Hal ini memang tak biasa. Ya, tak biasa memang. Ini juga merupakan suatu tren dan realitas dari pemanfaatan dunia digital Indonesia.
       “Like This”, dua buah suku kata hebat yang membuat siapa saja kepincut. Sudah tidak asing memang bagi Anda pengguna facebook dengan kata-kata “like”. Tapi dua suku kata ini makin populer setelah muncul kata “Like This” yang ada disalah satu iklan operator telekomunikasi ini. Dalam waktu singkat, kata ini menjadi booming didunia facebook dan di dunia nyata.  
       Jika didefinisikan secara singkat, like this artinya adalah menyukai ini. Jika didefinisikan secara luas artinya adalah ketika Anda memberikan notifikasi like this entah itu pada status, foto, atau posting lain berarti anda memberikan perhatian lebih dan Anda memdapat kesenangan ketika melihat atau membaca hal-hal tersebut. Dari definisi ini kita bisa menyimpulkan bawasannya like this adalah tren yang baik yang bisa membuat sikap individualisme dihilangkan dari dunia digital yang konon katanya dunia digital lah kambing hitam munculnya sifat individualisme dikalangan masyarakat. Like this memberikan gambaran bahwa kepedulian terhadap orang lain masih ada di dunia digital walaupun itu hanya terbentuk dari sebuah link kecil bernama “LIKE”.
       Terlepas dari semua dilema yang ada, like this kini menghiasi dan menambah keragaman budaya dunia digital Indonesia. Pemanfaatan like this di dunia digital tak terbatas hanya pada memberikan perhatian belaka tapi juga sebuah penanda nilai lebih akan suatu karya. Ya, like this menajadi penanda popularitas, eksistensi, dan bukti bahwa karya seseorang adalah yang terbaik jika mendapat like pada karyanya. Berawal dari sini pula kebiasaan untuk memberikan like adalah hal yang suatu hal yang mulai mendarah daging di nadi para facebooker. Satu penyimpangan dari budaya “ngelike” dikalangan para facebooker, entah status update itu susah, sedih, senang, berita duka, bencana, dsb selalu saja like diberikan. Melihat hal tersebut, yang perlu ditanyakan adalah apa esensi dari memberikan like pada hal-hal yang demikian? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh diri Anda sendiri.
       Beberapa hal tersebut ternyata belum seberapa besar jika dibandingkan dengan menentukan suatu hasil karya dengan memanfaatkan teknologi digital berupa jejaring sosial. Kompetisi digital baik itu melukis, menulis, menyanyi, fotografi dan kompetisi lainnya semakin banyak dan ini merupakan suatu hal yang patut diacungi jempol untuk mencari bibit-bibit berbakat baru. Coba saja berkunjung ke bloggernusantara.com , gudangnya info kompetisi lomba dan kumpulnya blogger, disini terpampang rapi event-event kompetisi yang kebanyakan merupakan kompetisi online. kompetisi online ini berupa menulis di blog, desain logo dan masih banyak lainya. Dari kompetisi itu pula muncul suatu penyimpangan objektifitas penilaian suatu karya. Seperti yang sudah pernah saya singgung sebelumnya, di era sekarang ini penilaian suatu karya melalui jaringan media sosial semakin marak. Lihat saja kata-kata pembuka saya, itu adalah asli cuplikan beberapa message yang saya pernah dapat. Mengejutkan memang, sebuah karya harus dinilai dengan isapan-isapan jempol. Walaupun tidak semua memberikan nilai tanpa sadar dan sebanding dengan hasil karyanya. Jika dipikir secara sederhana dalam kasus kompetisi yang memberikan penilaian berdasarkan jumlah vote like terbanyak maka siapa yang paling rajin promosi keteman-temanya yang memiliki account facebook maka sudah bisa dipastikan memiliki peluang lebih besar untuk menjadi pemenang. Lalu dimana nilai intrinsik dari karya-karya tersebut? 
     Problem-problem dunia digital seperti ini memang seperi dua sisi mata uang, dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan
  • Predikat negara demokrasi, membuat transparansi dan keterbukaan penilaian suatu karya menjadi hal yang lumrah.
  • Kejujuran penilaian antara pihak juri internal dengan peserta kompetisi.
  • Publikasi karya tidak terbatas dan jumlah penilai tidak terbatas.
  • Keterbukaan selera masyarakat dan hasil karya yang bisa memacu para peserta kompetisi megerti keinginan masyarakat melalui comment yang diberikan.
  •  Popularitas yang lebih luas bagi pelaksana dan sponsorship program kompetisi tersebut.
  •  Gratis
Kekurangan
  • Manipulasi penilaian.
  • Promosi sebesar-besarnya oleh peserta demi meraih like terbanyak sehingga penilaian tidak objektif.
  • Hasil akhir penilain berpotensi menyimpang antara hasil karya dan jumlah like.
  • Praktik kolusi
  •  Penilaian bersifat kekeluargaan.
           Dari tinjauan diatas merupakan suatu ironi melihat apa yang terjadi dari sebuah “like”. Bukan suatu masalah memang jika harus memanfaatkan media digital untuk penilaian suatu karya dalam kompetisi. Mungkin dari sini pula seharusnya kita sadar akan apa yang mestinya harus diperbaiki dari dunia digital Indonesia. Menumbuhkan bibit-bibit kejujuran dalam objektifitas penilaian karya. Contohnya saja kompetisi yang diadakan oleh ngawur.org ini. Dengan mengatasnamakan kompetisi yang penilaiannya tidak berdasarkan SEO, ngawur.org telah berhasil menciptakan dan ikut andil dalam objektifitas kompetisi dunia digital Indonesia dan faktanya kompetisi SEO memang suatu kompetisi rekayasa untuk menjadi the best blog in search engine. Dunia digital Indonesia perlu lebih banyak lagi memantapkan peningkatan kualitas dan kapasitas para blogger nya dengan memberikan suatu kompetisi yang benar-benar objektif. 
         Kalaupun kompetisi dengan menggunakan vote melalui sosial media tetap menajadi primadona, maka diperlukan protokol yang jelas dalam kompetisi tersebut. Seperti sistem penjurian, tata cara publikasi dan lain sebagainya. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga objektifitas penilaian karya melalui sosial media yaitu :
    • Pembagian porsi penilaian antara pengguna jejaring sosial dan juri internal.
    •  Publikasi dan promosi sepenuhnya dilakukan oleh panitia dan menyediakan group sendiri untuk penilaian.
    • Penilaian bisa dialihkan melalui media lain seperti email.
    • Penilaian seobjektif mungkin di orientasikan pada hasil karya.
    Beberapa solusi diatas mungkin bisa menjadi alternatif untuk menjaga keadilan dalam suatu kompetisi yang bertajuk digital. Kemudahan akses dunia digital yang menjadi nilai plus tentu menjadi alasan yang paling masuk akal. Apalagi untuk memiliki sebuah blog bukanlah suatu hal yang spesial saat ini. Beragam vendor penyedia blog gratis sudah menjamur, bukan hanya dari luar tapi dari negeri sendiri pun sudah banyak. Beragam tutorial untuk pengembangan blog pun sudah semakin banyak, salah satu rujukan yang patut dicoba adalah pusatteknologi.com, tersedia tutorial untuk menambah fungsionalitas blog Anda. Dengan demikian bukan tidak mungkin memiliki blog adalah sebuah kewajiban di Indonesia.
         Pada akhirnya kita telah mendapat suatu kesimpulan tentang “like this” sebagai bukti nyata bawasannya telah terjadi penyimpangan objektifitas penilaian suatu karya. Tapi perlu digaris bawahi bahwa tidak perlu ada pihak yang perlu dijadikan kambing hitam. Untuk sekarang fokus pada tujuan satu yaitu bagaimana meningkatkan objektifitas dan kejujuran dalam suatu kompetisi yang bertajuk digital dimana penilaian karya tersebut benar-benar objektif. seperti yang sudah saya sebutkan diatas, beberapa solusi untuk mengatasi hal tersebut. Sekarang tinggal kembali kediri kita masing-masing, mau dibawa kemana “like this” kita?







     Presented by Ngawur, Powered by Pusat Teknologi

    No comments:

    Post a Comment

    Disqus for Economic Watcher