7/13/12

Uang Muka Naik, Jaminan Keselamatan Ekonomi. Benarkah?

Kebijakan loan-to-value yang ditetapkan BI kini semakin memantapkan Indonesia untuk menjauh dari pengalaman pahit Subprime Mortage. Betapa Tidak, kebijakan yang berlaku 15 Juni 2012 silam ini sejatinya di gunakan untuk menjaring konsumen dengan tingkat keuangan yang aman. Lalu, apakah benar jika kebijakan LTV ini benar-benar mampu menjaga kredit KPR Indonesia?

Alasan BI menaikkan LTV

Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, menyampaikan alasan dikeluarkannya kebijakan kenaikan uang muka (down payment) bagi kredit kendaraan bermotor. Selain meningkatkan prinsip kehati-kehatian, kebijakan itu untuk memperlambat pertumbuhan impor kendaraan bermotor. Saat ini, pertumbuhan impor lebih cepat dibanding ekspor.

“Mobil itu hampir semuanya impor, motor juga. Walaupun dirakit di sini. Jadi, kenaikan DP sekaligus memperlambat kredit dan impor," ujar Darmin di Gedung BI, Jakarta, Jumat 16 Maret 2012.

Selain untuk menekan pertumbuhan impor kendaraan bermotor, Darmin menjelaskan, pertumbuhan kredit di sektor kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kredit pemilikan rumah (KPR) cukup pesat. Tahun lalu, pertumbuhannya mencapai 33 persen. Angka ini jauh di atas pertumbuhan kredit nasional sebesar 24-25 persen.

"Dua area ini pertumbuhannya pesat . Dampaknya sih tidak besar benar, tapi akan memperlambat,” ujarnya.

Terkait dengan kebijakan besaran uang muka sebesar 25-30 persen, Darmin menjelaskan, angka tersebut sudah sesuai dengan sejumlah negara di kawasan Asia. BI juga melihat berapa angka yang tepat untuk uang muka kredit kendaraan bermotor.

“Itu sebenarnya tidak jauh dari praktik yang ada selama ini. Kami juga melihat di negara lain seperti apa? BI lebih berkepentingan melihat berapa persen harga mobil boleh dibiayai kredit. Termasuk untuk uang mukanya harus dihitung,” ujarnya.

Alasan Beberapa Pihak Untuk Menolak LTV
Vice President PT Hyundai Mobil Indonesia Mukiat Sutikno mengatakan, rencana kebijakan itu sangat kontraproduktif, sehingga tidak diperlukan.

"Kalau dilihat, default rate kredit para debitur automotif sangat kecil. Jadi, kenapa uang muka harus dinaikkan? Kecuali kalau default rate tersebut besar,” kata Mukiat di Jakarta, Selasa (26/7/2011).

Menurut Mukiat, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik dan peningkatan penduduk dari kelas menengah merupakan peluang bagi sektor automotif nasional untuk terus bertumbuh. Apabila BI tetap merealisasikan kebijakan tersebut, maka, ujarnya, penjualan kendaraan di bawah Rp150 juta per unit akan terhambat.

"Pangsa pasar kendaraan di bawah Rp150 juta sangat gemuk. Sejumlah Agen Pemegang Merek besar bahkan selalu mengandalkan penjualan tahunannya di segmen ini," jelas Mukiat.

Industri automotif nasional, lanjutnya, sangat sensitif terhadap kebijakan fiskal. Sedangkan BI dan pemerintah tidak pernah mengajak pelaku industri automotif nasional untuk berdiskusi. “Kalau sampai penjualan automotif jatuh, revenue pemerintah akan ikut jatuh,” tandas Mukiat.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia mengatakan, apabila dilihat dari segi rasio kredit bermasalah, maka pembiayaan kredit sektor automotif justru masih sangat rendah.

"Pembiayaan kendaraan bermotor yang bermasalah menurun dari 1,6 persen pada April menjadi 1,3 persen pada Mei 2011. Karena itu, BI harus melihat dari sudut mana memandangnya,” kata Wiwie Kurnia.

Wiwie menjelaskan, selama semester I-2011, transaksi pembiayaan kendaraan di sejumlah perusahaan leasing naik 15- 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Chief Executive Officer PT Astra International Tbk Toyota Sales Operation Jodjana Jody mengatakan, sekira 70 persen penjualan kendaraan di bawah Rp150 juta masih dibiayai secara kredit sehingga masih sangat bergantung dengan DP. Konsumen, kata dia, sering mengeluhkan DP sebesar 20 persen terlalu besar. Apabila BI ingin menaikkan DP, maka penjualan di segmen komersial akan terganggu.

Komisaris PT Indomobil Sukses International Tbk Gunadi Sindhuwinata mengatakan, hal yang terkait dengan konsumen seperti penentuan tingkat besaran uang muka (down payment/DP) bukan menjadi tugas yang harus dilakukan oleh perbankan tapi institusi pembiayaan. Sehingga, menurutnya, perlu ada pembagian tugas yang jelas antara institusi pembiayaan dengan perbankan.

DP, lanjutnya, merupakan masalah bisnis dan resiko. Selama risiko bisa dikendalikan, maka seharusnya hal itu tidak menjadi masalah besar. DP, kata dia, justru bisa mendorong perkembangan industri automotif, karena bisa meningkkatkan penjualan.

Menurut Gunadi, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan dan status dari konsumen harus jelas. Hal itu bisa mencegah terjadinya kredit macet.

“Mau lima persen atau berapapun besaran DP tidak ada masalah. Selama itu masih terukur dan tidak merusak struktur pembiayaan. Namun, seharusnya apabila DP ditingkatkan, maka harus didasari alasan yang rasional,” kata Gunadi.

Sementara itu, lebih lanjut Jody menegaskan, dia tak setuju dengan pernyataan bahwa besarnya penyerapan kredit dapat menimbulkan bubble di sektor automotif nasional.

"Tak akan mungkin ada bubble di sektor automotif karena orang beli mobil bukan untuk investasi melainkan konsumsi. Jadi, tak akan ada orang berspekulasi dengan mobil. Jangan samakan automotif dengan sektor properti,” tegas Jody.

Hal senada diungkapkan oleh Gunadi. Gunadi menjelaskan, bubble tidak akan terjadi di sektor automotif nasional. Pasalnya, kata dia, sektor itu bertumbuh sesuai dengan kebutuhan pasar. Pertumbuhan pasar automotif nasional, menurutnya, malah tidak seimbang dengan kondisi infrastruktur.

“Jadi, bubble automotif tidak perlu dikhawatirkan. Selain itu, kalau lihat di jalan-jalan, bukan terlalu banyak kendaraan tapi karena pengaturan lalu lintas dan kondisi infrastruktur yang masih belum bagus,” jelasnya.

Bukan hanya dari kalangan pengusaha, beberapa pengamat bisnis properti Ali Tranghanda menyarankan kepada Bank Indonesia agar menggunakan instrumen pengaturan kredit ke kalangan pengembang untuk mengatasi potensi terlalu melambungnya harga aset-aset properti.

"Jangan menetapkan loan to value maksimal 70% karena kebijakan tersebut justru akan menghantam konsumen yang sebenarnya memang terpaksa mengambil kredit pemilikan rumah untuk ditempati (end-user), bukan kena sasaran investor yang membeli properti hanya untuk mengambil gain dari peningkatan harga properti," paparnya kepada Bisnis, Rabu, 21 Maret 2012.


Dia menyarankan salah satu cara yang dapat diambil oleh BI adalah dengan mengatur mekanisme pengucuran kredit konstruksi supaya kalangan pengembang tidak lagi jor-joran mengembangkan berbagai proyek properti.

Ali Tranghanda setuju dengan anggapan BI bahwa harga terlalu mahal. Dia mengistilahkannya dengan kondisi properti dewasa ini mendekati overheating. Tetapi, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch itu, penetapan maksimal LTV sebesar 70% sama sekali bukan solusi yang tepat untuk mencegah terus melambungnya harga properti.

Secara terpisah Ketua Umum DPP Realestat Indonesia Setyo Maharso berseberangan pendapat dengan Ali Tranghanda. Dia berpandangan harga properti masih dalam batas kewajaran.

Dia menyebutkan di Jakarta hanya wilayah utara dan barat yang harganya melambung jauh melebihi wilayah-wilayah lainnya. Namun, dia juga menilai hal itu wajar saja, mengingat kedua wilayah tersebut merupakan sentra perniagaan dan hal itu pun telah sesuai dengan peruntukannya.

So, kalau berdasarkan pengamatan saya, menurut saya pribadi saya setuju dengan kebijakan yang diambil BI. Ada beberapa alasan yang mendasarinya,
1. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, maka akan terjadi peningkatan pendapatan.
2. Kesadaran Investasi dari masyarakat Indonesia semakin besar, sehingga masyarakat lebih peka terhadap kondisi pasar baik itu sektor properti maupun sektor vital lainya.
3. Peningkatan LTV tidak akan berdampak besar pada kondisi konsumen. karena peningkatan LTV hanya akan menunda konsumsi dari barang tersebut.
4. Penjamiann keamanan bagi keunagan negara, perbankan, sekaligus produsen.
5. Pemerataan konsumsi barang kredit. yaitu pemerataan kredit pada type barang yang memiliki kapasitas maupun kualitas yang sedikit rendah.
6. Tolak ukur kesehatan kredit dan keamanan kredit Indonesia

Sumber : Okezone.com
Infogue.com

No comments:

Post a Comment

Disqus for Economic Watcher